Sebagai anggota DPRD Jateng, Soejatno Pedro sering kunjungan kerja (kunker) ke luar daerah. Ada satu  tempat yang wajib dikunjunginya, bahkan koleganya sudah paham betul apa yang akan dicarinya begitu menjejakkan kaki di kota tujuan.

ADAKAH arti angka 65 bagi politikus gaek seperti Soejatno Pedro HD untuk sekarang ini? Tokoh dari Partai Golkar itu patut bebungah. Ternyata angka 65 memiliki dua arti yang membuatnya semakin bangga.

Pertama, karena usianya sudah menginjak masa senja, yakni 65 tahun dan masih diberi kesehatan. Sedangkan arti kedua, tak kalah bangganya, ternyata ia mampu mencatatkan diri dalam rekor Museum Rekor Indonesia (Muri).

Meski terkesan menggelitik, caranya dalam memecahkan rekor diakui bos Muri Jaya Suprana. Dengan nomor rekor 3.567, Pedro dinobatkan sebagai kolektor peci terbanyak, yakni 65 buah. 

Penghargaan diserahkan Manajer Muri Paulus Pangka kepada Pedro -sapaan akrabnya di RM Nglaras Roso, Rabu (28/1).  Dengan raut muka berbinar, ia menerimanya dengan suka cita. ’’Hobi mengumpulkan peci berbuah rekor he he he,’’ candanya sambil mejeng di depan koleksi pecinya yang sengaja ditata dalam penerimaan rekor itu.

Peci milik anggota Komisi A DPRD Jateng ini beraneka ragam warna dan bentuk. Bila lazimnya warna peci hitam, yang dimilikinya berwarna-warni. Ada cokelat, abu-abu, merah marun, juga ada campuran, paduan merah dan abu-abu atau warna lain. Bahannya pun berbeda-beda, ada dari rajutan, kain beludru, termasuk corak motif.

Berburu

Peci itu didapatkannya dari sebagian belahan daerah di Nusantara. Ada yang dari Aceh, Medan, Palembang, Padang, Lampung. Wilayah Indonesia Timur turut dijelajahi, seperti di Mataram (NTB), Manado (Sulut), Makassar (Sulsel), dan Banjarmasin (Kalsel).

Apa yang membuatnya tertarik mengoleksi peci? Dengan gaya bahasa politisi, Pedro menyampaikan apa yang dilakukannya ini adalah sebagian kecil untuk mengoleksi khazanah kekayaan karya bangsa.

’’Corak peci nasional itu kan warnanya hitam. Tetapi, tiap daerah ternyata berbeda-beda. Ini yang membuat saya  tertarik mengoleksinya,’’ tandasnya.

Dimulai dari anggota Dewan pada 2004, setiap kunjungan kerja ke daerah, dia selalu menyempatkan memburu peci. Bahkan, di acara rehat kunjungan, ia mencuri waktu hanya untuk pergi ke toko peci. Harganya pun bervariasi dari Rp 25.000 hingga Rp 50.000.

’’Pernah di Aceh saya bilang peci, tetapi penjual di sana kurang begitu memahami. Begitu saya menunjuk kepala, pedagang sontak bilang kupiah. Saya langsung mengangguk,’’ tandasnya yang bangga memakai peci dari Aceh dan NTB.

Artikel Terkait